Senin, 01 November 2010

Reformasi Bidang Pertanian Yang berkeadilan Sosial

Gambar oleh: Nungki Christiawan
Kompleksitas ekonomi tenaga kerja pertanian mencakup dimensi yang relatif luas. Penurunan peran sektor pertanian terhadap PDB Nasional yang relatif cepat tidak diikuti oleh akselerasi yang sama pada aspek kesempatan kerja sehingga produktifitas tenaga kerja pertanian menurun. Perkembangan tingkat upah sektor pertanian pun tidak berjalan selaras dengan kenaikan harga kebutuhan pokok sehingga berimplikasi negatif terhadap daya beli dan kesejahteraan buruh tani. Pendapatan buruh tani juga tidak terlepas dari rendahnya partisipasi dan aksesbilitas buruh terhadap kesempatan kerja diluar sektor pertanian (I Wayan Rusastra dan M. Suryadi, 2004).
Sumber diatas, menggambarakan realitas sosial (Ius Constituendum) kondisi kesejahteraan petani yang mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Kondisi ini tidak dapat dilepaskan dari kebijakan Pemerintah dibidang Pertanian yang telah menciptakan suatu sistem didalam suatu proses produksi produk pertanian yang didalamnya melibatkan petani dan buruh tani sebagai bagian dari sistem.
Kebijakan dibidang pertanian, tidak bisa dilepaskan dari cita hukum Nasional tentang sistem Ekonomi Nasional dan Kesejahteraan sosial (pasal 33UUD 1945) yang menyatakan bahwa sistem ekonomi Nasional disususun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan dengan prinsip-prinsip efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan  kemandirian, serta menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi Nasional.
UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi, sudah seharusnya menjadi landasan filosofis bagi pemerintah didalam mengeluarkan suatu kebijakan yang bersifat strategis dan penting khususnya yang menyangkut kesejahteraan petani. 
Sudahkan kebijakan dibidang pertanian tersebut sejalan denga cita hukum tertinggi Nasional tersebut? Sudahkah prinsip-prinsip kekeluargaan dan usaha bersama mendasari kebijakan pertanian? dan sudahkan prinsip-prinsip keadilan tercermin didalam kebijakan makro bidang pertanian?

Budiman Sudjatmiko (Kompas, Mei 2010) yang mengungkapan ketidakadilan yang diterima petani dimana sektor pertanian sebagai penyumbang PDB (Produk Domestik Bruto) ke 3 terbesar di Indonesia setelah sektor industri dan sektor perdagangan, hotel dan restoran  yaitu sekitar Rp 260 Triliun per tahun melalui produk pangannya tetapi memperoleh nilai tukar petani yang masih relatif rendah. Sebagai gambaran, Nilai tukar petani (NTP) secara Nasional  bulan Pebruari, Maret dan April 2010 tersebut adalah sebagai berikut :
Indikator
Satuan
Peb. 2010
Mar. 2010
Apr. 2010
Indeks harga yang diterima petani (it)
Rupiah
125,27
125,33
125,56
Indeks yang dibayar petani (ib)
Rupiah
123,92
123,84
124,13
Nilai Tuar Petani (NTP)
(%)
101,09
101,20
101,15
Berita Resmi Statistik No. 28/05/2 Th. XIII, 3 Mei 2010
Catatan : (it) dan (ib) berdasarkan basis harga tahun 2007= 100
Nilai Tukar Petani (NTP) diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani (dalam persentase). Nilai ini merupakan salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan/daya beli petani di perdesaan. NTP juga menunjukkan daya tukar (term of trade) dari produk pertanian dengan barang dan jasa yang dikonsumsi maupun untuk biaya produksi. Semakin tinggi NTP, secara relatif semakin kuat pula tingkat kemampuan/daya beli petani. Dengan nilai NTP sekitar 101% berarti penghasilan petani hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar hidup dan biaya produksi tanpa mampu mengembangan produksi usahanya dengan penambahan modal yang berarti. Bukti empiris berdasaran pertumbuhan PDB sektor pertanian sejak 2003 sampai 2007 (pertumbuhan ekonomi tertinggi Indonesia adalah tahun 2007 sebesar 6,32%) menunjukkan bahwa ekspansi sektor pertanian hanya tumbuh hampir stagnan 0,5% setiap tahun jauh dibawah sektor industri, perdagangan dan jasa (www.bi.go.id, 2010). Sebagai penyumbang PDB ke 3 terbesar tentu kondisi ini oleh Budiman Sudjatmiko dianggap tidak adil. Menurut Budiman Sudjatmiko, penyebab ketidakadilan tersebut adalah produk hukum dibidang ekonomi sebagai produk kebijakan politik yang tidak berpihak kepada kaum marjinal. Bahkan dikatakan oleh Budiman, produk kebijakan ekonomi telah melahirkan sejumlah undang-undang atau regulasi yang malah menjadikan petani sebagai “musuh” di Tanah Air mereka sendiri. Ditengarai setidaknya ada 15 undang-undang yang telah menempatkan petani dipihak yang dirugikan, antara lain Undang-undang tentang pangan yang melegalisasi impor sehingga merugikan petani produsen, Undang-undang tentang sumber daya air dengan kebijakan privatisasi yang menghadapkan persaingan secara setara antara pengusaha dan petani yang sama-sama membutuhkan sumber air, dan beberapa produk hukum lain yang tidak mendistribusikan keadilan secara seimbang.
Revitalisasi kebijakan bidang pertanian ini sudah mendesak untuk diselenggarakan jika tidak ingin bangsa ini semakin terpuruk digerus impererialsme modern dengan memanfaatkan ketergantungan Indonesia melalui produk Impornya.
Tiga variabel penting didalam merevitalisasi kebijakan pertanian yang berkeadilan sosial ini mengacu pada teori keadilan Charles L Cohran adalah :
  1. Patronage Policy;
  2. Regulatory Policy;
  3. Redistributive Policy.
Pemeliharaan (patronage) adalah kebijakan yang didalamnya termasuk tindakan Pemerintah memberikan insentif terhadap individu atau perusahaan tanpa mengharapkan imbalan dari pemberi insentif tersebut. Bentuk insentif sendiri bisa bermacam-masam antara lain subsidi, kontrak, stimulus dan berbagai perijinan. Makna pengaturan (regulatory) adalah tindakan pemerintah mengatur dan mengontrol tindakan tertentu dari masyarakat. Suatu contoh, merokok adalah suatu tindakan privat, tetapi merokok juga dapat mengganggu privasi individu lain, maka pemerintah turun tangan membuat suatu peraturan tentang larangan merokok di tempat umum. Kontrol yang ketiga adalah kebijakan redistribusi (redistibutive policy) yang bermakna kontrol terhadap penataan ekonomi secara keseluruhan yang bertujuan menciptakan persaingan yang adil akibat ketidaksamaan sosial dan ekonomi dalam masyarakat. Inti dari konsep public policy oleh Charles L. Cochran tersebut adalah keadilan sosial, yang menyadari sepenuhnya bahwa terdapat ketidaksamaan ekonomi dan sosial yang tumbuh dalam masyarakat.  Ketidaksamaan tersebut selanjutnya dipakai sebagai dasar berpikir didalam mengeluarkan suatu kebijakan publik.
Kebijakan Pemerintah dibidang pertanian saat ini yang memenuhi prinsip Patronage hanya pengaturan harga padi. Variabel produksi yang lain, diserahkan kepada mekanisme pasar, termasuk upah buruh tani.

Mencari fFormat Pengadaan Barang dan jJasa Bidang konstruksi milik Pemerintah (Tahap Kualifikasi)

Aturan lelang di Indonesia masih mempunyai beberapa kelemahan, pertama, pada tahap kualifikasi peserta tender baik prakualifikasi maupun pasca kualifikasi. Tahap ini adalah untuk memilih peserta tender yang mampu baik dari segi modal dan teknis dimana teknis disini mencakup pengalaman perusahaan dalam pekerjaan yang sejenis dengan yang ditenderkan, peralatan yang akan mendukung pekerjaan dan personil yang diusulkan. Dari segi permodalan indikator yang dipakai adalah kekayaan bersih perusahaan. Dari pengalaman selama ini, ternyata banyak pemalsuan data oleh peserta untuk memenuhi kriteria sesuai persyaratan yang diminta dalam dokumen. Aturan ini perlu direvisi supaya menjadi lebih rasional.
Dari segi permodalan indikator yang dipakai adalah kekayaan bersih perusahaan. Menurut saya ini tidak cukup, karena meskipun sebuah perusaahan mempunyai kekayaan yang cukup, belum tentu itu berasal dari core bisnis jasa konstruksi semua. Menurut saya, harus juga dinilai dari sisi perputaran modal dalam jasa konstruksi selama 3 tahun terakhir sehingga bisa dipastikan perusahaan tersebut mempunyai likuiditas modal yang baik.
Menurut Kepres 80,2003, pengalaman perusahaan dalam pekerjaan yang sejenis, diukur dengan rumus KD = C x NPt x indek perubahan harga. Dimana KD adalah kemampuan dasar perusahaan, C adalah konstanta dengan nilai 2 untuk jasa konsultan 3 untuk jasa pemborongan dan 5 untuk jasa lainnya dan NPt adalah nilai pekerjaan tertinggi yang pernah dikerjakan. Artinya jika sebuah perusahaan mempunyai pengalaman dalam 7 tahun terakhir yang tertinggi adalah Rp10,- maka untuk keperluan kualifikasi nilai itu menjadi Rp20,- (jika C = 2) dikalikan lagi dengan suatu indeks dari BPS perubahan harga pada saat melaksanakan pekerjaan itu sampai saat tender, sehingga bisa jadi nilai pekerjaannya menjadi lebih besar lagi. Menurut saya penilaian pengalaman pekerjaan ini kurang mengarah lebih spesifik pada jenis pekerjaan yang akan ditenderkan.
Penilaian kualifikasi secara lebih spesifik yaitu dengan menilai indikator-indikator yang lebih riil seperti dijelaskan diawal diharapkan akan mampu menyeleksi secara optimal calon-calon perusahaan yang tepat.